Terjadi situasi genting, ketika manusia tidak lagi manusiawi. Putu Wijaya, lewat Coro-nya ingin mengangkat suatu realita bahwa manusia yang satu dengan kekuasaan yang lebih tinggi menganggap manusia yang lain dengan posisi yang rendah adalah hal yang hina, perlu dimusnahkan, dan tidak perlu didengarkan pendapatnya. Bahkan jika ia tidak memusnahkan manusia yang lebih rendah posisinya, maka ia telah melakukan kesalahan yang besar.
Diperankan oleh Agus Susilo yang merupakan pemain teater dengan jam terbang cukup tinggi, penonton sebenarnya dapat dengan sendirinya menentukan penafsiran mengenai pementasan teater monolog karya Putu Wijaya ini. Sehingga pembacaan sinopsis cerita di awal pementasan terkesan membunuh kreativitas penonton untuk menafsirkan hal atau pemikiran lain mengenai isi cerita yang akan ditampilkan.
Dipentaskan pada Open Stage FBS – UNIMED Jumat, 26 November 2010 pada pukul 15.00, naskah monolog Coro yang tersaji dalam lima halaman kemudian dibawakan oleh Agus Susilo dengan waktu sekitar setengah jam.
Coro bercerita mengenai sosok mahluk manusia yang menyimpan kebencian dan rasa jijik yang amat dalam pada sesosok serangga yang dikenal orang dengan sebutan coro. Cerita ini dikemas dengan cukup sederhana oleh Putu Wijaya selaku penulis nakah. Terkesan biasa bagi sebagian orang karena menceritakan hal ihwal yang biasa kita temui pada kehidupan sehari-hari. Orang yang membenci sesuatu karena sesuatu tersebut dianggap kotor, rendah, sumber penyakit, dan tak berguna. Tanpa pengecualian, manusia yang dikisahkan dalam cerita akan membunuh coro yang ditemuinya tanpa pikir panjang. Hingga pada suatu hari, sang manusia ketika pulang ke rumah menemukan coro di dalam rumahnya. Dia marah bukan main. Dia lantas mengejar coro dan hendak membinasakannya hingga terjadi pertikaian yang berwujud dialog antara manusia dan coro.