Baginda raja
mengadakan pesta besar. Memperingati ulang tahun menjadi raja. Undangan khusus
disebar. Para pembesar Belanda menempati tempat yang istimewa. Sementara para
bangsawan, kerabat Keraton berada di lapis kedua. Malam pesta besar itu
diadakan dansa-dansi oleh para ‘sinyo’ Belanda dengan istrinya. Pakaian mereka
menggambarkan kejayaan dan kekuasaan yang tak terkalahkan. Dari pihak Keraton
dipersembahkan sebuah tarian suci. Tarian Budaya Agung. Ini hanya bisa
ditarikan oleh putri-putri Keraton. Untuk bisa menarikan perlu latihan yang
panjang, dan melelahkan. Hanya pada hari istimewa saja tarian itu dipentaskan.
Untuk ukuran sekarang ini baru dipentaskan dua kali. Ketika Baginda Raja naik
tahta delapan tahun lalu, dan sekarang ini.
Seluruhnya ada
tujuh penari. Sesungguhnya masyarakat yang berdesakan di alun-alun, yang
memandang dari kejauhan, menunggu tari BedayaAgung ini. Bagi mereka seumur
hidup bisa menyaksikan tiga kali tarian suci ini merupakan keistimewaan.
Tapi ternyata para
pembesar Belanda tidak menaruh hormat. Ketika tari Bedaya Agung disuguhkan,
sebagian dari pembesar ini masih mabuk, berceloteh, mengumpat, berjalan ke sana
ke mari. Padahal biasanya saat tari Bedaya Agung disuguhkan, tarikan napas pun
diatur agar tidak mengganggu. Untuk pertama kalinya Baginda Raja tersinggung.
Merasa diremehkan oleh para pembesar Belanda. Suasana yang tak sakral, membuat
para penari tak sepenuhnya bisa mengikuti ‘gerak batin’, oleh roh yang lembut.
Keagungan dan keanggunan tari suci menjadi berkurang maknanya.
Pada saat yang
krisis itu, mendadak dari arah penonton, dari rakyat biasa muncul seorang
perempuan yang melenggang. Gerak tarinya sangat halus, lembut, tapi penuh
dengan wibawa.
Sang penari baru
ini memesona seluruh hadirin. Bahkan ketika menyatu dengan para putri Keraton,
semuanya mengalir dengan sempurna. Selama dua jam lebih, tak ada yang berbisik,
tak ada yang membuat ulah. Semua teredam oleh sang penari. Oleh geraknya, oleh
wibawanya. Baru setelah tarian itu selesai, para pembesar Belanda bertepuk
tangan. Diikuti oleh semua yang hadir. Baginda Raja memerlukan berdiri dari
kursi kebesarannya untuk menemui sang penari.
Betapa terkejutnya Baginda Raja, juga semua yang hadir ketika menemukan kenyataan, bahwa penari tadi adalah Bibi Mandoblang, istri Mandoblang. ‘Tak mungkin,” Baginda Raja berteriak. “Tarian itu hanya diajarkan kepada putri Keraton terpilih. Dari ratusan putri Keraton hanya tujuh yang terpilih.” “Hamba pernah berada di Keraton, Baginda…” Ini hebat. Baru sekarang terkuak rahasia Bibi Doblang. Yang dulunya adalah putri Keraton. Kenapa meninggalkan Keraton lalu menjadi istri Mandoblang, tak diceritakan saat itu. Gubernur Belanda, Van Houten terpesona. Sehingga turun pula mendekati, mengeluarkan segepok uang kertas. Benar-benar satu gepok penuh.
Bibi Doblang menggeleng.
“Terimalah,” perintah Baginda Raja.
“Mohon ampun Baginda…Hamba menari tidak
untuk dibayar.”
Apakah tema cerita tersebut
BalasHapusUnsur intrinsik dan simpulannya ap?
BalasHapusApakah tema cerita tersebut
BalasHapus