Sastra yang
menekankan pada keadaan jiwa tidak hanya melukiskan peristiwa fisik, tetapi
terutana gerak fisik itu merupakan isyarat kea rah peristiwa rohani, “ berusaha melukiskan gerak-gerik jiwa dan
perjuangan batin seseorang terhadap alam gaib atau problem hidup, lepas dari
adapt atau keluarga “. Dalam hubungan itu, Dr. Js. Badudu dalam sari
kesusastraan Indonesia
2 ( Bandung : Pustaka Prima, cet. Ke-40, 1986 )
mengatakan bahwa fiksi psikologi, “ Yang dilukiskan tidak hanya peristiwa,
tetapi terutama tingkah laku dan tindak tanduk para tokoh utama cerita. Mengapa
seorang tokoh berbuat begini, mengapa pendiriannya begitu didasarkan pada latar
kejiwaannya “. J.S. Badudu menyatakan selanjutnya bahwa, “ latar seorang mrnentukan dia bertindak dalam kehidupannya
sehari-hari di tengah-tengah pergaulannya dengan orang lain “. Latar kehidupan
dan kepercayaan yang dianutnya menentukan tingkah polah dan situasi jiwanya
sehingga ia bertindak dan berlaku demikian.
Salah seorang teoritikus psikologi yang menekankan pada psikoanalisis,
Sigmon Freud, menyajukan dasar-dasar psikoanalisisnya da;am tiga tahap. Tahap
pertama disebutnya sebagai libido seksualitas yang merupakan sumber nafsu yang
sudah ada di dalam diri manusia sejak bayi. Seperti menyusu dan menghisap ibu
jari. Tahap kedua nafsu dasariah dari hidup manusia itu muncul dalam apa yang
disebut dorongan hidup yang meliputi nafsu senang, nafsu seks, dan nafsu untuk
mati. Tahap ketiga dari nafsu itu adalah apa yang disebut das es, das ich, dan
das uber ich. Menurut Freud, das es ini disebut id, yaitu energi psikis yang
mengandung unsur-unsur biologis termasuk insting dan nafsu. . das es (id) merupakan
kumpulan nafsu dan menentukan hakikat perbuatan manusia yang kemudian dikenal
dalam tiga jenis perbuatan manusia ynag disebut pleasure principles (
prinsip-prinsip kesenangan ). Das ich (ego) merupakan pelaksana kepribadian yang
berdasarkan prinsip realitas. Tugas ego adalah mencari objek yang nyata untuk
memenuhi dorongan-dorongan pada das es; mengontrol apakah pemuasan das es dapat
berjalan atau tidak.; bertindak sebagai penghubung antar kebutuhan instingtif
dan lingkungan; menyatukan das es dan das uber ich yang saling bertentangan,
sedangkan das uber ich (superego) merupakan aspek kepribadian yang mempunyai
sifat ideal, itulah sebabnya sering disebut aku ideal. Superego ini biasanya
disebut kata hati yang berfungsi; menentukan salah benarnya tindakan yang
dilakukan das es dan das ich, menghalangi dorongan das es, terutama nafsu seksual
dan agresi; mendorong das ich untuk lebih banyak melakukan hal-hal yang
menjunjung moral dan hal-hal yang positif dan realistis, dan das uber ich ini
mengejar kesempurnaan, bukan kesenangan.
Meskipun tidak semua pengarang fiksi
psikologis menganut pendapat Sigmund Freud, dasar-dasar psikoanalisis ini dapat
diterapkan dalam menganalisis karya-karya fiksi atau karya sastra psikologisme.
Hal ini karena dasar-dasar teori psikologi yang dikemukakan Freud mengandung
banyak keunggulan dan keistimewaan yang dapat menjadi patokan analisis secara
teoritis.
Dalam buku Pemandu Dunia Sastra (
Yogyakarta; Kanisius, 1986 ) dijelaskan oleh Dick Hartoko dan B. Rahmanto bahwa
pendekatan untuk memahami fiksi psikologisme dapat dilakukan dengan psikologi
komunikasi sastra atau kepada teks. “ secara abstrak teoritis dapt dipelajari
hubungan antara kreativitas dan produksi literer. Secara konkret dipelajari
interaksi antara hidup seorang pengarang dan karyanya, atau secara lebih umum
dipelajari struktur kepribadian pengarang ( neurosis, psikis, trauma, yang
pernah dialami ). Secara empiris diteliti proses-proses yang terjadi dalam
mencerna teks-teks tertentu. Dapat dilacak misalnya variable penting dalam
memilih dan menilai sebuah teks. “ Dari
teks inilah analisis dapat dialakukan
dengan tepat dari metode pendekatan yang memang sudah dirancang karena teks
adalah sumber yang mampu memperlihatkan situasi tertentu dari apa yang
diungkapkan dalam karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar