Mochtar Lubis
lahir di Padang ,
Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Ayahnya pegawai Binnenlands Bestuur (BB)
Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1935 pensiun sebagai Demang Kepala
Daerah Kerinci. Demang Pandapotan itu digantikan oleh ayah saya, Demang Anwar
Maharadja Soetan.
Setelah tamat HIS Sungai Penuh,
Mochtar masuk sekolah ekonomi di Kayutanam pimpinan SM Latif. Seperti halnya
dengan sekolah INS pimpinan M Syafei, juga di Kayutanam, murid-muridnya diajar
mengembangkan bakat melukis, mematung, bermusik, dan sebagainya.
Mochtar sebentar jadi guru sekolah
dasar di Pulau Nias, kemudian pindah ke Jakarta. Di zaman Jepang dia bekerja
sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio sekutu di luar negeri untuk
keperluan Gunseikanbu, Kantor Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon. Tahun 1944
dia menikah dengan Halimah, gadis Sunda yang bekerja di sekretariat redaksi
harian Asia Raja.
Pada tahun 1945 dia bergabung dengan
kantor berita Antara. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember
1949, dia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Indonesia Raya. Tatkala
pertengahan tahun 1950 pecah Perang Korea , Mochtar meliput kegiatan itu
sebagai koresponden perang.
Pada paruh pertama dasawarsa 1950-an
pers di Jakarta dicirikan oleh personal journalism dengan empat editor berteman
dan berantem, yaitu Mochtar Lubis (Indonesia Raya), BM Diah (Merdeka), S Tasrif
(Abadi), dan Rosihan Anwar (Pedoman).
Yang paling
militan di antara empat sekawan tadi ialah Mochtar Lubis. Tahun 1957 dia
dikenai tahanan rumah, kemudian dipenjarakan. Semuanya selama sembilan tahun
sampai tahun 1966.
Sebagai wartawan, dia bikin berita gempar pada berbagai afair. Pertama, afair pelecehan seksual yang dialami Ny Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya tidak saja mencoba merayu Yanti, tetapi juga mengeluarkan kata-kata seks serba "seram". Kedua, afair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Ny Fatmawati marah dan meninggalkan istana. Ketiga, afair Roeslan Abdulgani. Menurut pengakuan Lie Hok Thay, dia memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Roeslan Abdulgani yang hendak pergi menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez mau ditahan oleh CPM tanggal 13 Agustus 1956, tetapi akhirnya urung berkat intervensi Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo.
Setelah Indonesia Raya tidak lagi
terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan di Madiun bersama mantan PM Sutan
Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio
Sastrosatomo, dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai oposan Presiden Soekarno.
Tahun 1968 Indonesia Raya terbit
kembali. Mochtar melancarkan investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang
dipimpin Letjen Dr Ibnu Sutowo. Utang yang dibikin Ibnu Sutowo di luar negeri
mencapai 2,3 miliar dollar AS. Ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto.
Ketika terjadi peristiwa Malari,
Januari 1974, para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka, Pasar Senen dibakar,
disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali Moertopo. Soeharto jadi gelagapan. Ia
instruksikan membredel sejumlah surat
kabar, antara lain Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Setelah bebas lagi
bergerak pasca-G30S/PKI, Mochtar banyak aktif di berbagai organisasi
jurnalistik luar negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri dia
mendirikan majalah sastra Horison. Ia menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia
yang menerbitkan buku-buku bermutu.
Selain sebagai wartawan, Mochtar
juga dikenal sebagai sastrawan. Pada mulanya dia menulis cerita pendek (cerpen)
dengan menampilkan tokoh karikatural Si Djamal. Kemudian dia menulis novel,
seperti Harimau Harimau, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, dan Berkelana
dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Sebagai orang yang memiliki banyak
bakat, tidak heran bila Mochtar pandai melukis. Ketika ditahan di penjara
Madiun, dia menjadi perupa. Sebagai budayawan, dia aktif dalam berbagai
kegiatan di Taman Ismail Marzuki. Dia anggota Akademi Jakarta sedari semula
hingga sekarang.
Tak perlu ditambahkan bahwa dalam
kehidupannya dia membuktikan berjiwa dan berperan sebagai pahlawan, seperti
pahlawan kebebasan pers, pahlawan berkreasi. Sesungguhnya dia dapat disebut
5-wan, yakni wartawan, seniman, sastrawan, budayawan, dan pahlawan.
Karena Mochtar dihargai sebagai
pahlawan yang berjuang untuk cita-cita dan berani memikul konsekuensinya,
seperti mendekam dalam penjara bertahun-tahun lamanya, paling tidak orang-orang
di kampung halamannya, di Mandailing, memberikan sebutan kehormatan kepadanya.
Menurut putranya, Ade Armand Lubis, tatkala Mochtar beserta istri dan
anak-anaknya pulang kampung, di sana
dia dinyatakan sebagai Raja Pandapotan Sibarani Sojuangan. Adapun Raja
Pandapotan itu gelar Mochtar. Sibarani dan Sojuangan adalah orang yang berani
dan berjuang.
Penamaan lain diberikan oleh Dr
Mochtar Pabottingi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ketika Mochtar
merayakan hari ulang tahun ke-80, seorang pembicara, yaitu Mochtar Pabottingi,
menamakan Mochtar Lubis person of character, insan yang berwatak. Di negeri
kita sekarang makin langka person of character itu. Bung Hatta di zaman
pendidikan nasional Indonesia
awal tahun 1930-an suka menyerukan agar tampil manusia-manusia yang punya
karakter.
Ketika
tahun 1973 diusulkan oleh panitia yang diketuai Jenderal AH Nasution supaya
kepada tiga wartawan pejuang dianugerahkan Bintang Mahaputra, yaitu BM Diah,
Rosihan Anwar, dan Mochtar Lubis, kabarnya Presiden Soeharto bertanya kepada
Jenderal Soemitro: "Mit, coba beri saya alasan, mengapa Mochtar Lubis
harus dapat Bintang Mahaputra".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar