Psikolog dan
linguis dewasa ini lebih suka menggunakan istilah akuisisi bahasa ( language
acquisition ) daripada belajar bahasa ( language learning ). Penggunaan istilah
akuisisi bahasa dirasakan lebih sederhana dan arena itu telah digunakan secara
umum ( Lyons, 1981 : 252 ). Istilah akuisisi bahasa yang dapat ditafsirkan sebagai
akuisisi suatu bahasa digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan
pengetahuan bahasa pada penutur bahasa.
Kyparsky ( Tarigan, 1985 : 243 )
mengatakan, “ pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses
yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk untuk menyesuaikan serangkaian
hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih
terpendam atau tersembunyi yang mungkin
sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orangtuanya samapai ia memilih berdasarkan
suatu ukuran atau takaran penilaian tata bahasa yang paling abik serta yang
paling sederhana dari bahasa tersebut “.
Berbicara tentang akuisisi bahasa,
dapat kita mengacu kedalam dua perkembangan yang berbeda, yakni belajar bahasa
pertama atau bahasa ibu yang secara normal berkaitan dengan kematangan dan
sosialisasi anak, dan belajar bahasa kedua ( Diebold, 1965 : 243 ). Akuisisi
bahasa anak diduga berasal dari
kemampuan yang baru tetapi Piaget, Heidbreder dan ahli lain lebih tertarik pada
pandangan yang menyatakan bahwa akuisisi bahasa adalah manifestasi kematangan
intelek anak dan bukan korelat-korelat linguistik.
Dalam
akuisisi bahasa, kita mempelajari bahasa dilihat dari segi ontogeinya (
ontogeny ), yakni perkembangan bahasa pada setiap individu yang berbeda dari
usaha mempelajari bahasa dari segi pilogeni ( phylogeny ), yakni perkembangan
bahasa melalui tahap-tahapnya dalam sejarah ( Stork dan Widdowson, 1974 : 134 ). Campbell dan Roger (
Lyons, Ed., 1980 : 242 ) mengatakan bahwa “ akuisisi bahasa adalah proses dimana anak-anak
mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar