Dalam situasi diglosia akan kita jumpai
adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia,
seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali , Madura, yang
masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk
basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan
ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam
kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam
sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa
ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama
inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat
pemakainya.
Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi
sosial, walaupun sekarang fungsi sosial tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam
bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa benar-benar digunakan sesuai
dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa Jawa
misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra (termasuk tembang),
sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko.
Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang
guru tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan
bahasa lemes. Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa
daerah itu bukan didasarkan atas topik pembicaraan, melainkan oleh siapa
(golongan atau kelas) dan untuk siapa. Dalam masayarakat Bali ,
terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan pemakaian ragam
bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya
dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi.
Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono
(2007:39), pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori
yang sudah dianggap klasik. Jika menurut Ferguson, diglosia itu mengacu kepada
kondisi ‘dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa,
dan masing-masing ragam itu mempunyai peran atau fungsi tertentu’, maka
Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas.
Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada
pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai
tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada
perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa
sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda. Menurut Fishman, yang
penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang
berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah kota besar di Indonesia
terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping
bahasa Indonesia .
Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan
msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana
kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan,
ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana
formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai
bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah
keagamaan (khotbah).
terima kasih banyak...
BalasHapusTerima kasih kembali :)
BalasHapusTrmkasi infonya
BalasHapusTrmks banyak
BalasHapusterimakasih
BalasHapusthanks Yossy
BalasHapus