Fungsi adalah kriteria yang paling penting dalam diglosia. Menurut
Fegurson dalam Sumarsono (2007:11) dalam suatu bahasa ada dua ragam yang
berbeda. Yang satu disebut dialek atas (A) atau high (H) dialect dan dialek
bawah (B) atau low dialect (L). Dalam bahasa Arab, H itu mengacu kepada bahasa
Arab yang dipakai bagai ragam bahasa Arab yang dipakai oleh berbagai masyarakat
Arab di berbagai negara.
Ukuran ke dua adalah prestise. Sikap penutur dalam guyup diglosia ialah
bahwaa H itu superior (unggul), lebih gagah, dan lebih nalar (logis). Ragam L
dianggap lebih rendah (inferior), bahkan keberadaannya cenderung dihindari.
Sikap-sikap semacam itu juga diakui penutur yang tidak dimengerti H.
Ciri ke tiga yaitu warisan tradisi tulis menulis, mengacu kepada
banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam H dan dikagumi warga guyup. Kebiasaan
tulis menulis masa kini dianggap merupakan kelanjutan dari tradisi besar masa
lampau.
Aspek diglosia yang penting adalah perbedaan pola pemerolehan bahasa
ragam H dan L. Ragam L akan dipakai
untuk berbicara dengan anak-anak dan dipakai di antara anak-anak itu, sehingga
L itu dipelajari secara normal dan tanpa
kesadaran. Ragam H itu selalu menjadi bahasa ‘tambahan’, ragam yang dipelajari
setelah L dikuasai, biasanya melalui pengajaran formal di sekolah. Pola
penguasaan ini berakibat ganda. Pertama, mereka yang meninggalkan sekolah pada
kelas-kelas rendah dan bisa tidak belajar ragam H sama sekali. Kedua, mereka
yang mempelajari ragam H hampir tidak pernah mencapai tingkat ‘lancar’ sebagaimana
mereka belajar bahasa L. ini karena bahsa L itu dipakai dalam komunikasi tiap
hari, sedangkah H dipelajari seperti belajar bahasa asing dengan mempelajari
kaidah gramatika. Akibatnya, anak bisa hapal kaidah ragam H tetapi tak pernah
bisa ngomong dalam ragam itu.
Tidaklah mengherankan, karena prestise dan lain-lain itu, lalu justru
ragam H itulah yang lebih diutamakan dalam pembakuan bahsa. Kamus, tatabahasa,
petunjuk lagal, dan buku-buku mengenai pemakaian bahasa yang benar ditulis
dalam ragam H. kaidah alphabet dan ejaan bagi H disusun dan tidak terlalau
banyak variasinya. Jarang sekali ada studi tentang ragam L. apa yang sebenarnya
ada diperlakukan oleh para pakar itu seperti berasal dari guup tutur yang lain
dan ditulis dlam bahsas lain. Menulis atau mengarang dalam ragam L menjadi
sukar karena tidak adanya kaidah ejan, dan tidak ada orang yang mau menulis
dalam ragam L.
Ciri ke enam ialah stabilits, diglosia itu biasanya merupakan gejala yang
sangat stabil. Alasannya adalah, diglosia itu memang dikehendaki agar selalu
ada dua ragam bahasa dipertahankan dalam satu guyup. Ketegangan antara H dan L
itu sedikit banyak dikurangi oleh munculnya bentuk-bentuk campuran yang
mengandung unsur-unsur H dan L. peminjaman kata-kata ragam H ke L; pemakai kosa
kata L oleh H jarang tetapi bisa terjadi.
Tentang ciri tata bahasa, dapat dikatakan ada banyak perbedaan kaidah
tatabahasa antara H dan L, meskipun keduanya merupakan bahasa yang sama.
Misalnya ragam Jerman baku mengenal 14 kasus nomina dan 2 kala sederhana; sedankan
dialek Jerman swiss hanya mempunyai 3 kasus nomina dan satu kala sederhana.
kalimat-kalimat kompleks yang berisi banyak anak kalimat lebih banyak dalam
ragam H, yang kalau dialihkan ke ragam L menjadi kaku dan terasa ‘dibuat-buat’.
Pendeknya, berdasarkan intuisi, tata bahasa L terasa lebih sederhana daripada
ragam H.
Dalam hal kosa kata, sebagian besar kosa kata H dan L memang sama. Tatapi
dalam situasi diglosia ini selalu saja ada kosa kata yang ‘berpasangan’. Ada pula kadang-kadang
tata yang ada dalam H tetapi tak adadalam L.
Terakhir adalah fonologi. Menurut Fegurson, ‘sistem buni H dan L itu
berbentuk suatu struktur fonologi tunggal, fonologi L merupakan system dasar
dan unsure-unsur sebaran fonologi H merupakan subsistem. Tetapi kita tidak
dapat mengatakan di sana
ada dua struktur yang berbeda.
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah
pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus
digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato,
kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah
biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari
dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra
rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar