Bahasa Indonesia pascakepemimpinan Presiden Soeharto mengalami perubahan
yang luar biasa. Hal ini terlihat dari pemakaian bahasa daerah dan bahasa asing
non-Inggris pada ruang publik.
Prof Dr Mikihiro Moriyama, dosen bahasa Indonesia pada Nanzan University di
Nagoya, Jepang, mengemukakan pendapat tersebut dalam diskusi bertajuk
"Bahasa Indonesia Pasca-Soeharto" yang diselenggarakan Newseum
Indonesia di Jakarta, Minggu (14/12) sore.
Menurut Prof Moriyama, semasa pemerintahan Orde Baru di Indonesia seperti
terdapat pembagian, yaitu hanya bahasa Indonesia yang resmi digunakan untuk
bahasa di ruang publik, sedangkan bahasa asing hanya bahasa Inggris.
"Namun, sekarang di media massa, khususnya televisi, kita bisa mendengar
berita dalam bahasa Jawa, Sunda, juga bahasa Mandarin, padahal dulu semasa Orba
bahasa Mandarin tidak diperkenankan digunakan di ruang publik," katanya.
Untuk bahasa daerah, pada masa Orba pemakaiannya terbatas pada wilayah
"aman", dalam arti tidak digunakan untuk pemakaian bahasa politik dan
ideologi, melainkan hanya pada ranah budaya, seperti untuk pertunjukkan
kesenian daerah.
"Pergeseran munculnya bahasa daerah ke ruang publik secara lebih luas juga
terjadi seiring dengan pertumbuhan otonomi daerah," tuturnya.
Prof Moriyama juga mengemukakan bahwa bahasa Indonesia bukan saja mendapat
tekanan dari daerah dengan menguatnya pemakaian bahasa daerah belaka, tetapi
juga menghadapi tekanan globalisasi bahasa yang luar biasa, khususnya dari
bahasa Inggris.
"Desakan bahasa Inggris ini bukan hanya dialami oleh Indonesia , tetapi juga
negara-negara lain sehingga belakangan juga terjadi reaksi dari berbagai negara
untuk melawan gejala tersebut," kata Moriyama yang kemudian tergerak
melakukan penelitian mengenai apa yang disebutnya sebagai "Imperialisme
Bahasa Inggris".
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Newseum Indonesia itu tampil pula Taufik
Rahzen dari lembaga tersebut dan TD Asmadi, Ketua Forum Bahasa Media Massa. Taufik Rahzen mengemukakan bahwa dalam perkembangan mendatang, bangsa Indonesia
sebaiknya lebih memperhatikan dan menampung pertumbuhan bahasa dari berbagai
kelompok masyarakat, ketimbang sibuk membahas kosa kata lama.
"Bahasa adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri, tumbuh dari berbagai
bidang, etnis, dan daerah/ Pusat Bahasa seharusnya menampung munculnya kosa
kata baru untuk memperkaya bahasa Indonesia ," ujarnya.
Sementara itu, TD Asmadi antara lain memperhatikan pergeseran bahasa
pasca-Soeharto, yaitu dengan dihapusnya sejumlah nama tempat dan ruang yang
tadinya memakai bahasa Sansekerta menjadi bahasa Indonesia . Selain itu juga kerancuan
pemakaian bahasa Indonesia dan Inggris.
Sumber
: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar