Jumat, 27 April 2012

Essay Monolog ”CORO”


Ruang Hampa Antara Bingkai Dan Lukisannya

        Terjadi situasi genting, ketika manusia tidak lagi manusiawi. Putu Wijaya, lewat Coro-nya ingin mengangkat suatu realita bahwa manusia yang satu dengan kekuasaan yang lebih tinggi menganggap manusia yang lain dengan posisi yang rendah adalah hal yang hina, perlu dimusnahkan, dan tidak perlu didengarkan pendapatnya. Bahkan jika ia tidak memusnahkan manusia yang lebih rendah posisinya, maka ia telah melakukan kesalahan yang besar. 



Diperankan oleh Agus Susilo yang merupakan pemain teater dengan jam terbang cukup tinggi, penonton sebenarnya dapat dengan sendirinya menentukan penafsiran mengenai pementasan teater monolog karya Putu Wijaya ini. Sehingga pembacaan sinopsis cerita di awal pementasan terkesan membunuh kreativitas penonton untuk menafsirkan hal atau pemikiran lain mengenai isi cerita yang akan ditampilkan.
 Dipentaskan pada Open Stage FBS – UNIMED Jumat,  26 November 2010 pada pukul 15.00, naskah monolog Coro yang tersaji dalam lima halaman kemudian dibawakan oleh Agus Susilo dengan waktu sekitar setengah jam.
Coro bercerita mengenai sosok mahluk manusia yang menyimpan kebencian dan rasa jijik yang amat dalam pada sesosok serangga yang dikenal orang dengan sebutan coro. Cerita ini dikemas dengan cukup sederhana oleh Putu Wijaya selaku penulis nakah. Terkesan biasa bagi sebagian orang karena menceritakan hal ihwal yang biasa kita temui pada kehidupan sehari-hari. Orang yang membenci sesuatu karena sesuatu tersebut dianggap kotor, rendah, sumber penyakit, dan tak berguna. Tanpa pengecualian, manusia yang dikisahkan dalam cerita akan membunuh coro yang ditemuinya tanpa pikir panjang. Hingga pada suatu hari, sang manusia ketika pulang ke rumah menemukan coro di dalam rumahnya. Dia marah bukan main. Dia lantas mengejar coro dan hendak membinasakannya hingga terjadi pertikaian yang berwujud dialog antara manusia dan coro.
Thompson Hs selaku supervisor dan Ojax Manalu selaku Penata artistik, serta Agus Susilo selaku pemain berusaha bekerjasama dengan baik untuk menciptakan suatu pementasan yang memukau penonton.  Naskah asli yang menceritakan seorang pejabat dengan pakaian rapi serta berdasi diadaptasi dengan unsur lokalitas daerah Sumatera Utara sehingga Agus Susilo tampil dengan pakaian seadanya berbalutkan ulos pada pinggangnya. Demikian juga penataan panggung dan musik yang mengiringi pementasan, memasukkan unsur-unsur kebudayaan Batak.
            Beberapa hal terkait yang disebutkan diatas kemudian disebut ”bingkai” oleh supervisor pementasan Thompson Hs pada sesi diskusi dan tanya jawab seputar ”Coro”. Thompson kemudian menjelaskan bahwa mengapresiasi naskah drama tentu saja berbeda halnya dengan mengapresiasi sebuah pementasan drama. Sebab sebuah naskah drama dapat saja ”berubah” ditangan sang sutradara. Begitupun dengan bingkai cerita. Merupakan sesuatu hal yang lumrah dan sah-sah saja apabila kemudian sebuah naskah drama dipentaskan dengan mengaplikasiakan unsur suatu budaya. Menjadi suatu permasalahan kemudian, apabila unsur budaya yang dimasukkan ke dalam pementasan sama sekali tidak sinkron atau tidak sesuai dengan cerita yang dipentaskan. Seperti halnya beberapa adegan yang terdapat pada pementasan ”Coro”. Di awal pementasan, seorang perempuan muncul ke atas panggung dan memutari panggung sembari menyirami penonton dengan air. Yang entah air apa, sehingga untuk beberapa saat penonton terperangah heran.
            Setting latar atau panggung yang juga mengadapatasi  unsur kebudayaan batak pun tak kalah hebatnya berperan dalam memunculkan pertanyaan pada benak penonton. Bagaimana tidak? Pada sisi depan panggung selama berlangsungnya pertunjukan, dinyalakan dupa yang mengepulkan asap. Hanya berguna untuk  menyesakkan nafas penonton , tidak lebih.
Pada akhirnya ”bingkai” yang dipasangkan pada cerita  menciptakan banyak pertanyaan pada benak penonton. Beberapa ”bingkai” tersebut sama sekali tidak berpengaruh pada jalannya cerita dan justru terlihat sebagai upaya untuk memperpanjang durasi pementasan. Memang, supervisor dan penata artistik pada pementasan kali ini adalah orang-orang yang terbiasa bergelut dengan opera batak, namun ternyata diperlukan juga seleksi ketat terhadap unsur-unsur budaya yang akan diaplikasikan terhadap suatu pementasan teater agar tidak membuat bingung penonton dan melakukan kemubaziran serta demi pementasan yang lebih baik di kemudian hari.
            Pementasan akan segera selesai ketika seorang perempuan muncul berlari dari sisi kiri menuju sisi kanan panggung melewati Agus Susilo yang sedang berkonsentrasi pada perannya. Maka pementasan yang telah berjalan selama kurang lebih setengah jam pun buyar seketika, penonton beralih pandang  pada adegan tak terduga yang baru saja terjadi. Sesama penonton saling tatap. Adakah adegan tersebut termasuk dalam cerita yang dipentaskan?. Agaknya tidak.
            Beruntung bahwa Agus Susilo sebagai pemeran monolog dapat berlakon dengan cukup baik dan menguasai cerita  walaupun logat batak yang dibawakannya terdengar ”sedikit memaksa”. Terdapat juga beberapa adegan yang tak dapat dicerna dengan baik oleh penonton. Diantaranya pada awal pementasan dimana manusia muncul dan menari-nari diiringi musik batak. Apakah sebenarnya yang ingin disampaikan? Atau lagi-lagi, adegan itu hanyalah sebuah usaha untuk mempresentasikan kebudayaan? Apakah yang sebenarnya ingin ditampilkan? Cerita atau kebudayaan (bingkai) ? Selanjutnya, sebagian besar penonton terlihat menahan rasa mual dan jijik yang cukup dahsyat ketika adegan memakan binatang coro ditampilkan. Panggung layaknya berubah menjadi arena uji nyali bagi orang yang ingin mencoba. Banyak  penonton hanya terperangah, serta merta membalikkan badan menghindari pemandangan di depan. Kemubaziran terlihat jelas pada adegan terkakhir dimana Coro mengaku bahwa dia adalah buruh, petani, dan mahasiswa. Sementara penonton yang didominasi mahasiswa tentunya sudah dapat menafsirkan sendiri tanpa perlu memperjelasnya.
Setidaknya beberapa kesalahan yang terjadi dalam pementasan berupa “bingkai” dan kemubaziran, serta hal lainnya tidak terlalu menghalangi apresiasi penonton terhadap pesan cerita yang ingin disampaikan.  Selain karena sebuah naskah juga dapat ditafsirkan walaupun tanpa pementasan.
            Apa yang ingin disampaikan Putu Wijaya lewat Coro? Putu Wijaya ingin menyampaikan sebuah kritik sosial terhadap kehidupan secara umum di negara kita dan ranah pemerintahan khususnya. Manusia yang dikisahkan dalam cerita adalah seorang pejabat yang memegang kekuasaan tinggi. menyimpan kebencian teramat dalam terhadap coro. Coro dapat diibaratkan sebagai rakyat kecil. Coro juga dapat diibaratkan sebagai kebenaran yang tak muncul kepermukaan. Dimana kebenaran yang senantiasa diperjuangkan oleh rakyat kecil, tentu saja menjadikan rakyat kecil sebagai salah satu elemen kritis yang akan menggoncang kekuasaan para pejabat yang “bersalah”.   Untuk itu, pejabat merasa bahwa rakyat kecil adalah bagian yang perlu dimusnahkan.
Pada bagian ketika coro memohon agar manusia tidak membunuhnya, manusia terkejut mendapati coro dapat berbicara. Dihadirkan suatu kenyaataan bahwasanya rakyat kecil selama ini telah banyak bersuara, banyak berpendapat, banyak merasakan ketidak adilan yang terjadi pada mereka. Namun pemerintah tak pernah mendengarkannya. Rakyat kecil dianggap bisu atau mungkin suaranya tidak diperlukan oleh pemerintah. Pemerintah juga kerap memaksakan pendapatnya, menggunakan kekuasaannya untuk selalu membenarkan segala kesalahan mereka. Tak pernah berkaca pada diri sendiri dan kerapa kali menyalahkan orang lain yang dalam hal ini adalah rakyat kecil.
            Di bagian akhir cerita manusia memakan coro. Bagian ini dapat ditangkap sebagai para pejabat atau pemerintah yang mengganyang rakyatnya sendiri. Dengan kata lain, rakyat kecil yang mereka pandang hina dan rendah, serta sangat mereka benci, namun dari rakyat kecil itulah mereka kemudian makan. Makan dalam hal ini dapat diartikan sebagai sumber penghidupan yang seawajarnya mereka terima atau bahkan yang tidak sewajarnya.
            Pada adegan setelah manusia membunuh coro, secara tiba-tiba muncul coro yang lainnya, dan berkata bahwa dia mudah dibunuh, namun dia akan bangkit dan hidup kembali. Dia tak pernah mati. Terdapat banyak hal yang terkait dengan ketidakadilan yang terjadi di negara kita kerap berakhir ditangan para penguasa yang tidak bertanggung jawab. Tanpa penyelesaian yang jelas, kadang kasus-kasus ketidakadilan hilang tak berbekas dari permukaan dan terlupakan begitu saja. Namun hal-hal yang demikian takkan berhenti begitu saja. Banyak para pejuang kebenaran yang masih tetap berupaya menegakkan dan menyuarakan keadilan terus berjuang hingga titik darah penghabisan.
            Lebih jauh,  Putu Wijaya mengkritisi rasa kemanusiaan manusia yang semakin memudar dan sikap sombong yang semakin menjadi-jadi. Perlunya mansia memupuk dan menajaga rasa kemanusiannya. Penulis ingin mengingatkan pentingnya introspeksi diri dan penanaman rasa rendah diri pada siapapun karena semua manusia saling membutuhkan satu sama lainnya baik dalam kehidupan di sosial maupun bernegara. Rakyat kecil perlu di dengarkan pendapatnya karena segala hal harus diperhatikan demi kebaikan kelangsungan hidup bersama. Demikian juga kritik dan penilaian dari penonton diperlukan oleh  sebuah tim demi pementasan yang lebih baik di kemudian hari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar