Untuk menulis pantun, hal yang harus diperhatikan ialah membuat topik
atau tema terlebih dahulu, sama halnya jika hendak membuat karangan yang lain. Tema dalam penulisan pantun sangat penting
sekali, karena dengan tema pantun-pantun yang dibuat oleh siswa akan lebih
terarah kepada sesuatu maksud yang diharapkan. Dan juga tidak akan merebak
kemana-mana, yang akhirnya dapat mendatangkan masalah. Memang diakui, adanya
sedikit pengekangan kreativitas bagi siswa dalam menulis pantun, jika
menggunakan tema yang sempit. Oleh karena itu, guru harus lebih bijaksana dalam
memilih tema yang didalamnya dapat mengandung atau mencakup berbagai
permasalahan keseharian.
Tema yang cocok diberikan
dalam proses pembelajaran misalnya saja berkaitan dengan masalah politik,
sosial budaya, percintaan, dan kehidupan keluraga. Misalnya, tema tentang
sosial budaya dengan mengambil topik soal kebersihan kota atau masalah sampah.
Hal pertama yang harus dilakukan ialah membuat isinya terlebih dahulu. Untuk
membuat isi harus diingat bahwa pantun terdiri atas empat baris. Dua baris
pertama sampiran, dan dua baris berikutnya ialah isi. Jadi, soal sampah
tersebut dapat disusun dalam dua baris kalimat, yang setiap baris kalimatnya
terdiri atas empat perkataan dan berkisar antara 8 sampai 12 suku kata.
Kemungkinan jika dibuatkan
kalimat biasa, boleh jadi kalimatnya cukup panjang. Misalnya: ”Dikota yang
semakin ramai dan berkembang ini, ternyata mempunyai masalah lain yang sangat
terkait dengan masalah kesehatan warganya, yaitu sampah yang berserakan di
mana-mana . . . dan seterusnya.”
Pengertian dari kalimat di
atas mungkin bisa lebih panjang, namun hal tersebut dapat diringkas dalam dua
baris kalimat isi sebagai berikut.
penyakit diundang,
masalah datang.
Disinilah kelebihan pantun,
dapat meringkas kalimat yang panjang, tanpa harus kehilangan makna atau arti
sebuah kalimat yang ditulis panjang-panjang.
Jika isi pantun sudah
didapatkan, langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya. Walau kata kedua
dari suku akhir baris isi pertama dan kedua diberi tanda tebal. Namun jangan
hal itu yang menjadi perhatian, tapi justru yang harus diperhatikan ialah pada
suku akhir dari kata keempat baris pertama dan kedua, yaitu rak dan tang,
sebab yang hendak dicari ialah sajaknya atau persamaan bunyi.
Sebuah pantun yang baik, suku
akhir kata kedua sampiran pertama bersajak dengan suku akhir kata kedua dari
isi yang pertama. Apalagi suku akhir kata keempat dari sampiran pertama
seharusnya bersajak dengan suku akhir kata keempat isi pertama, karena
disinilah nilai persajakan dalam pantun itu yaitu baris pertama sama dengan
baris ketiga dan baris kedua sama dengan baris keempat.
Tetapi kalau dibuat sekaligus,
takut terlalu sulit menyusunnya. Memang tidak sedikit kata-kata yang bersuku
akhir pah, misalnya pelepah, sampah, nipah, tempah, terompah, dan
sebagainya. Begitupun suku kata yang akhirannya dang, misalnya udang,
sedang, ladang, kandang, bidang, tendang, dan sebagainya. Kalaupun sulit
untuk mencari kata yang bersuku akhir pah, masih ada jalan lain yaitu
dengan membuang huruf p nya, dan mengambil ah nya saja. Begitupun
dengan dang, buang huruf d nya, sehingga yang tertinggal hanya ang
nya. Tapi jangan sampai dibuang a nya juga, sehingga hanya tinggal ng
nya saja karena hal tersebut dapat menghilangkan sajaknya. Begitupun untuk suku akhir dari kata rak dan
tang yang menjadi tujuan.
Kata yang bersuku akhir rak
dan tang dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya
untuk kata rak, yaitu kerak, jarak, marak, serak, gerak, merak, arak,
dan sebagainya. Sedangkan untuk kata tang, yaitu hutang,
pantang, batang, petang, lantang, dan sebagainya. Sekarang baru membuat
sampiran pertama dan kedua dengan mencari kalimat yang suku akhir kata
keempatnya adalah rak dan tang. Misalnya:
Cantik
sungguh si burung merak,
terbang
rendah di waktu petang.
Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan
menjadi;
Cantik
sungguh si burung merak,
terbang
rendah di waktu petang.
Jika sampah
dibiarkan berserak,
penyakit
diundang, masalah datang.
Jika menginginkan suku akhir kata kedua baris pertama dengan suku akhir
kata kedua dari baris ketiga bersajak juga. Begitupun dengan suku akhir kata
kedua baris kedua dengan suku akhir kata kedua baris keempat bersajak agar
terlihat lebih indah bunyinya, maka sampirannya harus diubah, menjadi;
Daun nipah
jangan diarak,
bawa ke
ladang di waktu petang.
Jika sampah
dibiarkan berserak,
penyakit
diundang, masalah datang.
Demikian halnya jika membuat
pantun teka-teki. Misalnya membuat teka-teki tentang parut, salah satu alat
dapur yang berfungsi untuk memarut kelapa guna diambil santannya. Jika
diperhatikan dengan teliti ada keanehan mengenai cara kerja parut, hal inilah
yang dapat mengilhami kepada semua orang untuk membuat teka-teki, yaitu mata
parut yang sedemikian banyak itu, cukup tajam. Daging kelapa yang sudah
disediakan, dirapatkan ke mata parut, lalu digerakkkan dari atas ke bawah
sambil ditekan. Dari pergerakan itu semua, seperti layaknya orang menyapu,
dapat dilihat, daging kelapa itu tertinggal diantara mata parut. Ada terus.
Semakin gerakan menyapu dilakukan, dagimg kelapa itu semakin banyak dimata-mata
parut. Logikanya, orang menyapu tentu lantai akan menjadi bersih, tetapi
sebaliknya sangat berbeda dengan bidang bangun parut. Semakin disapu, semakin kotor
karena banyaknya daging kelapa yang menyangkut dimata parut. Dari sini dapat
dibuatkan inti pantunnya, yaitu Semakin disapu, semakin kotor.
Tugas selanjutnya ialah
membuat sampiran. Untuk membuat sampiran, boleh membuat yang sederhana, yaitu
hanya untuk mencari persamaan bunyi (bersajak) tanpa mengindahkan makna atau
arti atau keterkaitan dengan isi seolah satu kesatuan kalimat yang saling
mendukung. Jika ingin membuat sampiran yang sederhana, hal yang dilakukan ialah
mencari kosa kata yang bersuku akhir tor atau paling tidak or.
Misalnya kantor, setor, dan motor. Jika sudah mendapatkan kosa
kata untuk membuat akhiran pantun yang sesuai dengan kata kotor, langkah
selanjutnya ialah menentukan letak inti pertanyaannya. Apakah diletakkan
dibaris ketiga atau baris keempat. Jika diletakkan pada baris ketiga, kalimat
baris keempat dapat dibuat sebagai berikut: apakah itu, cobalah terka.
Sehingga hasilnya menjadi:
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Sekarang barulah mencari
sampirannya. Suku akhir tor atau or dari kata kotor dapat
diambil salah satu saja, misalnya kata kantor, kemudian tinggal mencari
suku kata yang berakhir ka dari kata terka, yang merupakan kata
terakhir dari baris terakhir. Untuk kata yang bersuku akhir ka, dalam
kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya bingka, ketika, sangka,
nangka, dan luka. Misalnya diambil kata bingka. Sekarang kata
kantor dan bingka baru dijadikan sampiran, menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke
warung beli bingka.
Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan,
hasilnya menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke
warung beli bingka.
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Jadilah pantun teka-teki. Dan jawaban pantun
teka-teki itu, tentulah parutan kelapa.
Jika inti pertanyaan
diletakkan pada baris keempat, kalimat baris ketiga sebagai berikut: Jika
pandai kenapa bodoh. Sehingga hasilnya menjadi:
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Langkah selanjutnya ialah
membuat sampirannya agar lengkap menjadi sebait pantun. Suku akhir kata kantor
yang bersajak dengan kata kotor dapat digunakan lagi, sekarang tinggal
mencari suku akhir doh, yang akan bersajak dengan kata bodoh.
Misalnya kata jodoh sehingga jika dibuatkan sampirannya, menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Langkah terakhir baru disatukan antara isi dan
sampirannya sehingga menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Dan jawaban dari pantun teka-teki tersebut
tentunya ialah parutan kelapa.
Jika diperhatikan sampirannya
dari keempat contoh pantun di atas, memang terasa kurang kuat dan terkesan
memaksakan kata-kata hanya untuk mencari persamaan bunyi sehingga kalimat
sampirannya tidak mempunyai keutuhan arti. Tetapi hal ini tidak dianggap salah,
hanya mutunya dianggap kurang.
Namun, jika dilihat dari
pantun-pantun pusaka yang ada, bahwa tidak semua pantun pusaka tersebut
dikatakan sempurna atau tinggi mutunya, terkadang ada yang setipa barisnya
tidak terdiri atas empat perkataan tetapi hanya tiga perkataan atau ada lima
perkataan. Selain itu juga, masih banyak pantun-pantun yang betul-betul hanya
mengutamakan persamaan bunyi, padahal tidak bersajak. Seperti kata lintah
dengan cinta pada pantun berikut ini.
Dari mana datangnya Lintah,
dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta,
dari mata turun ke hati.
Sepintas lalu terdengar
sama-sama berakhiran ta, tapi jika diamati benar barulah terasa bedanya
antara bunyi tah dengan ta itu. Yang satu terdengar lebih
tebal atau kental dan yang satu terasa ringan.
Demikianlah pantun-pantun yang banyak terlihat,
jika dirasakan banyak sekali kekurangannya. Namun, hal itu tidak menjadi
masalah justru menjadi canda gurauan, tidak ada niat untuk mengecilkan hati
apalagi mencemooh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar